Ingin Ku Kurimkan Padamu, Tapi... #2

 

Teringat: Suatu saat di Gramedia.

Cinta bukan hanya tentang bahagia, tetapi juga tentang menghadapi kesedihan dengan berani. Aku bersyukur atas derita ini. Karena di dalamnya, aku menemukan kekuatan untuk bersabar. Menantikan saat kita bisa bertemu kembali, saat tawa dan canda kita dapat menyatu tanpa sekat, adalah pengorbanan yang layak untuk dijalani.


Pagi ini, saat matahari perlahan menggeliat dari pembaringan malamnya, aku terbangun di sisi boneka darimu, sebuah barang di mana kenangan kita selamanya terukir dengan lembut. Kicauan burung yang riang menyapa telinga, mengingatkanku pada secangkir kopi yang menanti di meja (sisa semalam), mengundangku untuk meresapi rasa pahit hidup yang terjalani.

Setiap tegukan kopi mengingatkanku pada pahit (namun indah) yang kau bawa ke dalam hidupku. Aroma kopi yang sudah hilang, keheningan pagi, menyentuh jiwa yang letih berkelana dalam derita. Betapa berartinya kesabaran, yang kau ajarkan kepadaku. Setiap rasa sakit, setiap detak jantung yang bergetar, membawa pahala yang berharga. Dalam ketidakpastian cinta, aku menemukan akar kehidupan yang kuat.

Teringat aku: saat di Gramedia Bandung terasa seperti sketsa indah yang terlukis di waktu. Hari itu, saat kita bersama-sama mencari buku "Re" karya Kang Maman, adalah salah satu bayangan paling cerah dalam kelam ingatanku. Kau terlihat anggun dengan kerudung itu, senyummu seolah memberi cahaya pada rak-rak buku yang melingkupi kita. Di antara tumpukan halaman yang bertasbih dalam sunyi, aku merasakan kedekatan kita semakin tumbuh. Kita bagaikan dua burung yang terbang bebas di langit, mengitari dunia yang penuh dengan imajinasi dan harapan.

Pencarian kita tidak sekadar untuk menemukan buku, tetapi untuk menemukan satu sama lain dalam lautan kata-kata yang menggugah. Setiap lembar baru yang kita buka, seolah membongkar rahasia tentang diri kita, mengajarkan makna sejati dari cinta yang bersabar. Kita tertawa, berbagi cerita tentang penulis yang kita suka,  dan terkadang terdiam dalam kegugupan yang sulit diungkapkan. Hal-hal kecil itu, mengakar dalam relung hatiku, menunggu waktu untuk mekar kembali saat kerinduan melanda.

Namun, berpaling sejenak dari kenangan indah itu, hatiku kini berat dengan derita. Tanpamu: setiap hal yang kulihat, setiap hal yang kudengar, adalah rasa sakit yang mendalam. Namun dalam gelap dan sakitnya masa ini, aku belajar untuk bersabar, mencintaimu dengan segenap jiwa meskipun jarak dan ketidakmungkinan membentang antara kita.

Kau adalah guruku, yang mengajarkan arti cinta sejati. Dalam setiap derita, aku menyadari bahwa sabar itu adalah sebuah seni. Seperti puisi Rumi (yang kau suka), yang mengalun lembut, aku belajar untuk menari dalam kesedihan ini, menemukan keindahan meski terkadang terhimpit duka.

Setiap pagi di tempat ini, ketika sinar mentari menyapu lembut wajahku, aku berdoa agar cinta kita tumbuh meski dalam pelukan kesedihan. Seperti burung-burung yang tak kenal lelah, kita akan terbang lagi meninggalkan kepak indah. Aku berjanji, cintaku padamu adalah surat yang ditandatangani oleh darah. Harus ditepati, meskipun kita terpisah oleh kemasing-masingan hidup.

Cinta bukan hanya tentang bahagia, tetapi juga tentang menghadapi kesedihan dengan berani. Aku bersyukur atas derita ini. Karena di dalamnya, aku menemukan kekuatan untuk bersabar. Menantikan saat kita bisa bertemu kembali, saat tawa dan canda kita dapat menyatu tanpa sekat, adalah bentuk pengorbanan yang layak untuk dijalani.

Hari ini, aku ingin memanjatkan doa untukmu, wahai cintaku. Semoga angin membawa salamku hingga ke telingamu, semoga setiap detik yang kita lewati akan segera terbayar dengan bahagia. Dalam setiap denyut jantungku, ada namamu yang tertulis rapi, dan dalam setiap langkah, aku berdoa agar kesabaran ini menjadi jembatan menuju cinta yang lebih utuh. Aku percaya.


Link copied to clipboard.